Papuaterdepancom, Jayapura – Kepala Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Papua, Johny Santoso, menegaskan pentingnya kolaborasi lintas sektor dalam mengawasi peredaran tumbuhan dan satwa liar di Papua. Ia menyebut upaya pelestarian keanekaragaman hayati tak bisa dilakukan hanya oleh satu lembaga.
“Balai Besar KSDA Papua tidak bisa bekerja sendiri. Perlu partnership, perlu kolaborasi,” kata Johny usai membuka diskusi multipihak pengawasan peredaran tumbuhan dan satwa liar di Kota Jayapura belum lama ini.
Menurut Johny, kolaborasi ini juga sejalan dengan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2023, yang memerintahkan berbagai kementerian, lembaga penegak hukum, hingga pemerintah daerah untuk bersama-sama melaksanakan pelestarian keanekaragaman hayati. “Artinya, pengawasan kehati ini menjadi program arus utama, yang harus dilakukan lintas sektor,” ujarnya.
Johny menyebut burung paruh bengkok seperti kakatua raja, kakatua koki, nuri, dan kasturi kepala hitam masih menjadi komoditas satwa liar yang paling sering diperdagangkan secara ilegal dari Papua. “Bahkan ada repatriasi dari Filipina. Itu menunjukkan masih banyak yang keluar dari Papua,” katanya.
Ia menjelaskan, tantangan utama pengawasan adalah pemahaman masyarakat tentang pentingnya pelestarian satwa liar. Karena itu, BBKSDA akan mengedepankan langkah persuasif dan edukatif sebelum penegakan hukum. “Kami mulai dari sosialisasi dan pengawasan bersama. Tapi bagi pelaku yang berulang, tentu harus ada tindakan hukum agar ada efek jera,” kata Johny.
Motif ekonomi, menurutnya, menjadi pendorong utama masyarakat terlibat dalam perdagangan satwa liar. “Ini PR semua sektor, bagaimana memberikan penghidupan yang layak bagi masyarakat,” ujarnya.
Untuk itu, BBKSDA Papua melibatkan berbagai unsur Polri, TNI, pemerintah daerah, NGO, dan masyarakat adat dalam forum multipihak. “Kita libatkan semuanya supaya semua tahu kondisi di lapangan seperti apa, tantangannya apa, dan bisa bersama-sama mencari solusi,” katanya.
Johny juga menegaskan bahwa peran masyarakat adat menjadi bagian penting dalam konservasi. “Kami tidak ingin menyulitkan masyarakat adat. Justru semangat kami adalah menjaga kearifan lokal agar tetap hidup berdampingan dengan konservasi modern,” ujarnya.
Selain penegakan hukum, BBKSDA Papua juga mengembangkan pendekatan ekonomi alternatif berbasis konservasi, seperti wisata pengamatan burung (birdwatching). “Kalau birdwatching dijaga, masyarakat bisa dapat penghasilan berkelanjutan tanpa harus menangkap burung,” kata Johny.
Ia menambahkan, beberapa satwa hasil sitaan saat ini tengah menjalani proses habituasi di kandang penyesuaian di Buper Waena, sebelum dilepasliarkan kembali ke habitatnya. “Baru-baru ini ada tangkapan kasturi kepala hitam, kakatua koki, dan mambro. Mereka akan dilepas setelah siap secara fisik,” ujarnya.
Johny berharap forum multipihak ini tidak berhenti pada seremoni. “Deklarasi ini harus menjadi semangat bersama, menguatkan empati dan sinergi untuk melestarikan keanekaragaman hayati di Papua,” katanya.









