Papuaterdepancom, Jayapura – Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Karya Kita Anak Budak atau dikenal sebagai LBH Kaki Abu, menyatakan sikap tegas terkait keputusan Majelis Rakyat Papua (MRP) yang dianggap tidak melindungi hak-hak Orang Asli Papua (OAP). Dalam pernyataan yang disampaikan oleh Direktur LBH Kaki Abu, Leonardo Ijie, S.H., keputusan MRP untuk memasukkan individu yang disebut “Nene Tete Papua” dalam kuota OAP dinilai sebagai tindakan tidak berdasar dan melanggar hak OAP.
“Kami sangat kecewa dengan sikap MRP. Kebijakan yang dikeluarkan tidak memiliki dasar hukum yang jelas. Jika kita bicara tentang hak OAP, aturan dalam Undang-Undang Otonomi Khusus (OTSUS) dan regulasi Kemenpan RB Nomor 320 sudah sangat jelas mengatur mekanisme dan syarat administrasi untuk memastikan bahwa kuota 80% benar-benar diberikan kepada OAP. Namun, keputusan MRP justru bertolak belakang dengan itu,” kata Leonardo dalam keterangan tertulisnya, Jumat, 3 Januari 2025.
Ketidakjelasan Dasar Hukum Menurut Leonardo, keputusan MRP untuk memasukkan yang “Nene Tete Papua” ke dalam kuota OAP tidak memiliki dasar hukum yang kuat. Ia menyoroti bahwa kebijakan ini tidak didukung oleh data otentik seperti KTP, kartu keluarga, atau dokumen lain yang membuktikan status individu tersebut sebagai OAP.
“Jika kita bicara soal keabsahan, verifikasi sudah selesai. Ada 10 nama yang menjadi temuan, dan dokumen berita acara sudah ditandatangani oleh anggota MRP, termasuk DPR yang memfasilitasi proses ini. Namun, MRP justru meralat keputusan yang sudah disepakati. Ini langkah sepihak dan kami tidak akan tinggal diam,” lanjutnya.
Langkah Hukum Akan Ditempuh LBH Kaki Abu memastikan akan membawa persoalan ini ke ranah hukum. Leonardo mengungkapkan bahwa pihaknya telah menyiapkan dokumen berita acara sebagai bukti untuk mengajukan gugatan hukum terhadap MRP, DPR, dan BKD.
“Kami akan mengajukan pengaduan ke Polda Papua Barat Daya paling lambat hari Selasa. Keputusan yang diambil MRP ini ilegal, dan kami anggap pertemuan yang dilakukan oleh BKD juga tidak sesuai prosedur. Ini harus diluruskan agar hak-hak OAP terlindungi,” katanya.
Wakil Ketua Majelis Rakyat Papua (MRP) Papua Barat Daya, Vincentius Paulinus Baru, S.T., menegaskan bahwa seluruh proses seleksi dilakukan secara terbuka dan melibatkan berbagai pihak, termasuk lembaga adat dan masyarakat lokal.
“Kami sudah memfasilitasi 86 nama yang diajukan dalam aspirasi MRP dan DPR. Dari jumlah tersebut, hanya 3 nama yang terbukti bukan OAP dan rekomendasinya ditolak. Selebihnya, mereka yang memenuhi kriteria, termasuk anak dari saudara perempuan dan pihak-pihak lain yang sesuai aturan, tetap diakomodasi,” ujar Vincentius.
Menurutnya, proses ini sudah melibatkan perwakilan dari berbagai elemen, seperti lembaga adat, tokoh agama, serta masyarakat dari Kabupaten Raja Ampat dan daerah lainnya. “Dari 86 nama itu, hanya 3 yang tidak masuk kuota OAP, dan keputusan ini sudah final. Kami berharap semua pihak menghormati proses yang telah berjalan ini,” tambahnya.
Zeth Kadakolo, S.E., M.M., Ketua Komisi I DPR Papua Barat Daya, juga menyatakan dukungannya terhadap hasil seleksi ini. Ia menjelaskan bahwa verifikasi dilakukan bersama dengan BKPSDM untuk memastikan setiap nama memenuhi kriteria sebagai OAP.
“Setelah diverifikasi, ada 3 nama yang tidak masuk kategori OAP karena tidak memenuhi syarat administratif maupun genealogis. Namun, kami tetap mempertimbangkan hak-hak mereka yang memiliki keturunan Papua, seperti dari garis nenek atau kakeknya,” jelas Zeth.
Ia menambahkan bahwa lembaga adat juga telah memberikan klarifikasi terkait nama-nama yang dianggap kontroversial. “Kita sudah panggil ketua-ketua lembaga adat untuk memverifikasi data, khususnya dari Raja Ampat. Proses ini dilakukan untuk memastikan keadilan bagi semua pihak,” lanjutnya.
Pemerintah Papua Barat Daya: Transparansi Adalah Kunci Kepala Bidang Pengadaan dan Informasi Aparatur Sipil Negara (ASN) Provinsi Papua Barat Daya, Timotius Moso menegaskan bahwa seluruh tahapan seleksi dilakukan secara transparan dan adil.
“Kami berjuang menyiapkan formasi agar semua peserta, baik dari wilayah Papua Barat Daya maupun Papua lainnya yang lahir dan besar di wilayah ini, dapat berkompetisi secara adil. Dari 86 peserta yang lolos, hanya 3 orang yang bukan OAP,” ungkap Timotius.
Timotius juga menyampaikan apresiasi kepada semua pihak yang mendukung proses ini, termasuk DPR dan MRP. Ia menjelaskan bahwa tahapan berikutnya adalah penandatanganan berita acara oleh semua pihak terkait sebelum diajukan ke Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan RB).
“Peserta yang lolos seleksi kompetensi dasar (SKD) akan melanjutkan ke seleksi kompetensi bidang (SKB), dan hasilnya akan segera diumumkan secara resmi,” tambahnya.
Pemerintah Papua Barat Daya memastikan bahwa optimalisasi akan dilakukan jika ada formasi yang tidak memenuhi kriteria OAP. “Regulasi seleksi berlaku seragam di seluruh wilayah Papua untuk memastikan keadilan,” kata Timotius.
Selain itu, Leonardo juga mengkritik kinerja MRP yang dinilai tidak konsisten dalam memperjuangkan hak OAP. Ia menyoroti kasus sebelumnya, di mana MRP menggagalkan pencalonan Alvaris Umelati sebagai gubernur Papua Barat Daya dengan alasan administrasi, meskipun Alvaris memiliki garis keturunan Papua dari neneknya.
“Keputusan yang diambil MRP ini menunjukkan bahwa mereka tidak mampu melindungi hak OAP. Pola pikir seperti ini hanya akan merugikan generasi muda Papua. Lalu, ke mana anak-anak asli Papua ini harus pergi jika lembaga seperti MRP tidak berpihak kepada mereka?”ujarnya.
LBH Kaki Abu berkomitmen untuk terus memperjuangkan hak-hak OAP melalui jalur hukum. Leonardo menegaskan bahwa kebijakan yang diambil oleh MRP, DPR, dan BKD harus memiliki dasar hukum yang jelas dan tidak boleh merugikan kepentingan Orang Asli Papua. Konflik ini menjadi pengingat pentingnya transparansi dan keadilan dalam proses pengambilan keputusan terkait hak-hak masyarakat adat Papua.*
Sumber Berita : Rilis